Menilik Sejarah Kebiasaan Buru Babi di Ranah Minang

Liputan6.com, Agam - Buru babi menjadi sebuah kebiasaan bagi banyak masyarakat di Sumatera Barat. Bahkan sudah menjadi hobi hingga ada Persatuan Olahraga Buru Babi (PORBBI).

Persatuan tersebut ada hampir di seluruh daerah di Sumbar, biasanya aksi buru babi ini sudah terjadwal dan orang yang datang juga banyak dari luar daerah dimana lokasi buru babi diadakan.

Hari ini, Minggu 30 Agustus 2020 misalnya buru babi yang juga diistilahkan dengan alek nagari ini diadakan di Nagari Pasia Laweh Kecamatan Palupuah, Kabupaten Agam.

Buru babi digelar besar-besaran pesertanya tidak hanya dari Sumbar namun juga dari Provinsi Sumatera Barat dan Riau.

Wali Nagari Pasia Laweh, Zul Arfin mengatakan kegiatan ini digelar untuk menjalin silaturahmi dan mendorong pergerakan UMKM masyarakat, serta memperkenalkan potensi nagari kepada tamu yang akan mengikuti buru babi dari berbagai daerah di Sumbar dan Riau.

"Ada sekitar 3.000 peserta buru babi ini dari Sumbar dan Riau, semua yang ikut diingatkan agar mematuhi protokol kesehatan mengantisipasi penyebaran virus corona Covid-19," katanya Minggu (30/8/2020).

Alek nagari ini, lanjutnya juga sebagai upaya untuk membasmi hama babi yang mengancam pertanian masyarakat, sehingga dapat mendorong peningkatan produksi pertanian ke depannya.

Peserta mengisi lokasi perburuan di berbagai titik seperti, sepanjang jalan Palimbatan, Angge, Pasia Laweh Sungai Guntuang, Pakan Salasa Aur Kuning, dan Lurah Dalam.

Kegiatan berburu babi hutan ini, dilakukan pada pagi hari hingga menjelang sore hari. Ketika perburuan dimulai, anjing yang sudah mengendus keberadaan babi akan dilepaskan ikatan tali di lehernya.

Jika ada babi yang mati dari hasil buruan, akan dibiarkan tergeletak begitu saja di dalam hutan. Mereka tidak membawa babi itu pulang. Berburu babi bagi masyarakat Minangkabau dijadikan sebagai media untuk menyalurkan hobi saja.

Warisan Nenek Moyang

Berburu babi di Kabupaten Agam Sumatera Barat. (Liputan6.com/ Dok Humas Agam)
Berburu babi di Kabupaten Agam Sumatera Barat. (Liputan6.com/ Dok Humas Agam)

Dalam sebuah jurnal Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas yang ditulis Zainal Arifin berjudul 'Buru Babi: Politik Identitas Laki-laki Minangkabau' (halaman 35) disebutkan, buru babi adalah aktivitas yang umum dilakukan laki-laki Minangkabau jauh sebelum Islam masuk ke daerah ini.

Aktivitas ini hanya dilakukan oleh laki-laki saja dan tidak melibatkan perempuan. Dalam perburuan babi hutan, para lelaki membawa beberapa ekor anjing sebagai binatang pemburu.

Dalam konteks sekarang, tulis Zainal Arifin aktivitas ini dilakukan secara adat yaitu sebelum perburuan babi dilakukan, diawali dengan serangkaian upacara adat yang dipimpin oleh seorang mamak.

Sesuai dengan filosofi yang diyakini masyarakat Minangkabau, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (ABS-SBK), khususnya sejak islam dijadikan agama etnik orang Minangkabau, aktivitas buru babi ini diperkirakan bukanlah aktivitas resmi.

Kemudian juga bukan aktivitas resmi adat Minangkabau, karena setiap upacara yang dilabeli adat, haruslah mengikutsertakan perempuan. Aktivitas ini diduga kuat dirancang sebagai bentuk negosiasi laki-laki di tengah dominasi kekuasaan adat matrilineal di Minangkabau.

"Minangkabau menganut garis keturunan ibu, mereka berkuasa atas apa saja yang ada di garis keturunannya," tulis Zainal.

Walaupun Islam telah megangkat derajat laki-laki Minangkabau ini menjadi lebih berkuasa, namun pemberian kekuasaan demikian terlihat semu karena perempuan tetap sebagai pemegang kunci kekuasaan masyarakatnya meski cenderung berada di balik layar.

Saksikan juga video pilihan berikut ini:



from Liputan6 RSS https://ift.tt/31FCfEs

Comments